Sabtu, 22 Desember 2012

Dalam Kuasa Asing

                                
                                                              Dalam Kuasa Asing
Senin 12-11-2012 13:12:25 WIB

Meneropong Sejarah
“Those who fail to learn the lessons of history are doomed to repeat them”. (George Santayana)


Sejak abad pencerahan di Eropa, industri di Barat tumbuh cepat. Kemajuan imu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kemajuan industri yang mengakibatkan kebutuhan pasokan bahan baku pun meningkat pesat. Bangsa Eropa berusaha memenuhi kebutuhan bahan baku ini dengan mencari ke negeri-negeri di Asia dan Afrika, termasuk Nusantara. Untuk bahan baku itulah bangsa Portugis menapakan kaki di Malaka pada 1511. Kolonialisasi kemudian dilanjutkan oleh Inggris, VOC, dan pemerintah Belanda. Pihak-pihak tersebut selama berabad-abad telah mengeruk sumber daya alam Nusantara untuk kemudian dijual di pasaran Eropa. Tak peduli jika kesejahteraan hingga nyawa penduduk Nusantara atau Hindia-Belanda yang harus dikorbankan.

Di antara pihak-pihak yang pernah menjajah negeri ini, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perserikatan Dagang Hindia Timur) merupakan yang terlama. Sejak didirikan pada tahun 1602, VOC atau lazim disebut Kompeni telah mengeruk begitu banyak kekayaan alam negeri ini, hingga akhirnya bangkrut dan diambil alih oleh pemerintah Belanda. Begitu banyaknya kekayaan alam yang VOC jarah, sampai-sampai pada 1669 VOC menjadi perusahaan multinasional terbesar di dunia dengan 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, dan 10.000 prajurit angkatan darat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara (in.wikipedia.org). VOC dapat menjadi demikian besarnya karena tiga pilar utama yakni VOC sendiri sebagai perusahaan raksasa dengan modal yang kuat, dukungan politik pemerintah Belanda, dan armada militer yang siap membasmi rintangan yang menghadang VOC. (Rais, 2009)

Seiring dengan berkembangnya industri, penguasaan negara-negara Eropa tak hanya sebatas kebutuhan bahan mentah, tetapi juga kebutuhan akan tenaga kerja yang murah untuk efisiensi biaya produksi. Untuk itu, banyak perusahaan yang kemudian membidik negara berkembang untuk mendapatkan jasa tenaga kerja dengan upah yang murah. Selain itu, Revolusi Industri di Barat banyak pabrik di Barat berlomba memproduksi barang dalam jumlah yang besar. Ini juga ada kaitannya dengan minimalisasi biaya produksi. Namun, seiring dengan banyaknya barang yang dihasilkan, terjadi penumpukan barang.

Pasar Eropa tak bisa menyerap semua produk yang dihasilkan. Produsen perlu pasar baru. Pada akhirnya mereka membidik negara-negara di Asia dan Afrika untuk memasarkan produk mereka. Inilah suatu bentuk baru kolonialisasi. Tak hanya menjadikan negara berkembang sebagai pemasok bahan baku industri mereka, tapi juga sebagai pemasok tenaga kerja murah dan pasar produk mereka. Fenomena ini terus berlanjut hingga kali ini, lazim disebut neokolonialisme.


Indonesia Kini, Sebuah Perulangan Sejarah
Indonesia telah 67 tahun memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, tetapi faktanya hingga saat ini Indonesia belum bisa terlepas dari pengaruh asing dalam berbagai bidang, terutama bidang ekonomi. Delapan tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun bisa dikatakan tak cukup signifikan mengurangi dominasi asing untuk mencapai kemandirian bangsa. Kondisi Indonesia kini tak jauh berbeda dan hanya berupa perulangan dalam tampilan yang berbeda dari zaman penjajahan oleh pihak-pihak asing. Berabad-abad lalu penjajahan melibatkan fisik dan kekuatan militer, sekarang tidak. Namun, intinya tetap sama : penguasaan asing di bidang ekonomi masih dominan.

Sektor pertambangan migas 84%-nya masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Produksi minyak nasional Indonesia sekitar 900.000 barel per hari. Itu masih kotor, belum dipotong bagian kontraktor dan cost recovery. Sementara kebutuhan BBM mencapai 1,4 juta barel per hari. Defisit minyak ini dipenuhi lewat pembelian impor minyak mentah maupun dalam bentuk BBM jadi ke pihak asing lebih dari 500 barel per hari. Selain itu, beberapa kontrak gas juga perlu ditinjau ulang karena tak berpihak pada kepentingan nasional, malah berpihak pada asing. Yang paling jelas adalah kontrak LNG (Liquefied Natural Gas) Tangguh. Di saat PLN maupun industri dalam negeri membutuhkan pasokan gas, pemerintah malah menjual gas ke luar negeri seharga US$ 3,35 per mmbtu (million british thermal unit). Sementara di saat yang sama, harga jual gas ke dalam negeri US$7 per mmbtu. Penjualan LNG Tangguh ini juga jauh di bawah harga LNG Badak di Kaltim yang di ekspor ke Jepang seharga US$ 20 per mmbtu. Kontrak ini mengurangi potensi pendapatan negara hingga Rp 30 trilyun setiap tahunnya. Blok Cepu yang berpotensi menambah lifting minyak sebesar 165.000 barel setiap harinya pun pengelolaannya diserahkan kepada Exxon-Mobile sebagai operator utama hingga tahun 2036.

Di sektor pertambangan umum, kuasa asing juga terlihat sangat dominan. Mengacu data British Petroleum Statistical Review, Indonesia yang hanya memiliki cadangan batubara terbukti 4,3 miliar ton atau 0,5 persen dari total cadangan batubara dunia menjadi pemasok utama batubara untuk China yang memiliki cadangan batubara terbukti 114,5 miliar ton atau setara 13,9 persen dari total cadangan batubara dunia. Kontrak dengan Freeport dalam penambangan emas negara dirugikan puluhan trilyun setiap tahun dengan mendapat royalti hanya sebesar 1% dari jumlah emas yang dihasilkan. Ini baru berupa kerugian materiil, berupa potensi penerimaan negara yang hilang, belum termasuk kerugian-kerugian akibat kerusakan lingkungan ataupun konflik sosial.

Di sektor perkebunan , kuasa modal asing begitu besar.Berikut beberapa perusahaan asing dan jumlah lahan yang dimilikinya :  Guthie Bhd ( Malaysia) memiliki lahan seluas 167.908 ha, Kuala Lumpur Kepang Bhd ( Malaysia) memiliki lahan seluas 45.714 ha, Wilmar International Group ( Singapura) memiliki lahan seluas 63.455 ha, Hindoli-Cargil (AS) 63.555 ha, Sipef Group (Belgia) 30.922, Golden Hope Group ( Malaysia) 12.810 ha. Selain mengurangi kedaulatan negara, penguasaan asing di sektor perkebunan oleh perusahaan asing juga seringkali memicu konflik sosial antara korporat dan masyarakat.

Di sektor pangan, sektor terpenting dan paling dibutuhkan rakyat, pun Indonesia begitu bergantung pada asing. Dalam sektor ini bukan sumber daya alam Indonesia yang dikuasai asing, namun Indonesia dijadikan pasar bagi produk pangan negara lain atau korporat asing. Ini terjadi kebijakan pemerintah yang pro liberalisasi pasar dan kegagalan pemerintah mememenuhi kebutuhan pangan rakyat. Pada tahun 2011 total nilai impor pangan Indonesia adalah Rp 125 trilyun  yang mencakup impor beras dari Thailand, Vietnam, India, China, dan Pakistan; kedelai dari AS,Malaysia, Brazil, dan Thailand; buah-buahan dari Cina; jagung dari India, AS, dan Argentina; Garam dari Australia; susu dan daging sapi dari Australia dan Selandia Baru.  Selain kebutuhan pokok diatas, kebutuhanpangan sehari-hari pun  masih didominasi oleh korporat asing. Teh Sariwangi dan Kecap Bango 100% milik Unilever (Inggris), kecap dan sirup ABC 65% oleh heinz (AS), Aqua 74% oleh Danone ( Prancis), Ades 100% milik Coca-cola (AS), susu SGM 82% milik Numico (Belgia), rokok Dji Sam Soe pun 100% sahamnya dimiliki Phillip Morris (AS).

Sektor-sektor di atas hanya beberapa contoh dominannya korporat asing dalam perekonomian Indonesia. Asuransi dan perbankan merupakan contoh lain yang dimiliki oleh asing masing-masing sejumlah 70% dan 52%. Masih banyak contoh lainnya selain sektor-sektor di atas.


Persoalan Investasi
Investasi, baik asing maupun swasta lokal, pada dasarnya merupakan modal awal pertumbuhan ekonomi. Investasi diharapkan dapat membuka banyak lapangan pekerjaan yang pada akhirnya diharapkan akan membawa  kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu juga investasi sering dianggap  sebagai alat untuk transfer teknologi yang belum dikuasai oleh suatu negara sehingga lambat laun akan terjadi penguasaan teknologi oleh sdm lokal. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa investasi itu hanyalah alat, bukan tujuan. Jangan sampai modal asing ataupun swasta lokal menguasai arah perekonomian kita. Haramlah hukumnya jika apa yang biasa disebut investasi itu malah melemahkan kedaulatan kita di bidang ekonomi, politik, maupun pertahanan dan menguntungkan segelintir orang saja tapi merugikan rakyat banyak. Negeri ini pun begitu bergantung pada investasi asing dalam pembangunannya. Sebenarnya investasi dapat memberikan efek positif bagi sebuah negara. Namun, faktanya di Indonesia, investasi kebanyakan hanya bertumpu pada murahnya upah tenaga kerja dan melimpahnya bahan baku yang tersedia. Transfer teknologi yang diharapkan tak terjadi atau setidaknya tidak terlihat signifikan. Banyak bahan mentah yang kita ekspor sementara setelah menjadi barang jadi kita impor.

Jika membaca pemikiran-pemikiran ekonomi Mohammad Hatta -sebagai peletak konsepsi ekonomi Indonesia-, terutama esai-esainya di harian Daulat Rakjat, tampak jelas bahwa beliau begitu membenci kapitalisme dan dominasi modal swasta yang pada akhirnya melahirkan imperialisme. Hatta memang tak anti terhadap modal asing. Menurut Hatta, modal atau bantuan dari luar negeri kepada negara berkembang harus mendorong timbulnya aktivitas ekonomi sendiri. Perekonomian harus dijalankan dengan cita-cita self-help dan self-reliance. Modal atau bantuan tersebut harus melancarkan ekonomi negara berkembang sampai pada suatu tingkat di mana ia seterusnya dapat bergerak sendiri atas kekuatan sendiri (Swasono, 1992)

Apa yang salah dari mendominasinya investasi asing?
Perlu ditinjau dari beberapa aspek:
Pertama, aspek konstitusi. Negara ini didirikan sebagai negara kesejahteraan (welfare state), yakni sebuah negara di mana pemerintahan negara dianggap menjamin standar kesejahteraan hidup dasar bagi setiap warga negaranya. Ini tak lepas dari kenyataan sejarah bahwa pada zaman pra-kemerdekaan pemerintah kolonial kurang memperhatikan kualitas hidup rakyat Indonesia sehingga pada saat itu mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Oleh karena itu, perekonomian Indonesia disusun atas tiga pilar yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 : demokratisasi perekonomian melalui koperasi; penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak; penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Di Indonesia, seyogyanya kebijakan ekonomi disusun untuk keadilan sosial dan kesejahteraan umum, bukan untuk kemakmuran individu atau golongan semata sehingga sangatlah salah jika sektor-sektor strategis dikuasai oleh korporat swasta, apalagi asing. Ini mengingat tujuan korporat swasta pada hakikatnya adalah untuk profit individu (Stiglitz,2001).

Kedua, aspek ekonomi. Semakin dominan investasi asing, semakin terasa denasionalisasi, maka semakin banyak surplus ekonomi nasional yang di bawa keluar. Selama industri domestik tidak menguasai pasar domestik lalu liberalisasi perdagangan diberlakukan tanpa kekuatan struktural ekonomi domestik, maka pangsa pasar domestik akan dibanjiri barang impor. Hal ini dapat menyebabkan deindustrialisasi. Banyak masyarakat yang memilih barang impor dan akan banyak industriawan yang beralih menjadi pedagang. Hal ini dapat mengurangi ketersediaan lapangan kerja.

Ketiga, aspek keamanan. Memberikan kuasa sektor penting kepada korporat asing berarti mempertaruhkan keamanan nasional. Sebagai contoh, jika sektor migas banyak diserahkan kepada korporat asing seperti saat ini. Lifting minyak 2011 Indonesia sekitar 900.000 barel per hari dan hanya 123.000 barel yang dihasilkan Pertamina. Ini karena kurangnya keberpihakan pemerintah pada perusahaan migas nasional tersebut. Bayangkan jika terjadi perang atau konflik negara lain misalnya AS, perusaahan multinasional asal AS dapat menyuruh perusahaan multinasionalnya untuk berhenti berproduksi. Walhasil, saat itu Indonesia harus bertahan hanya dengan hasil lifting 123.000 barel atau sedikit lebih besar (mendapat dari korporat yang tak ada kepentingan dengan AS). Demikian pula dengan sektor pangan, sebagaimana diungkapkan Bush Jr, “Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure. It woud be a nation at risk.”

Keempat, aspek kedaulatan. Terkadang ada juga sekelompok orang yang bertanya mengapa perlu mandiri? Bukankah tidak masalah diserahkan ke asing jika itu lebih efisien, asalkan mampu menyejahterakan rakyat? Pada zaman dahulu para pejuang negeri ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan, padahal mungkin mereka tahu bahwa perekonomian awal kemerdekaan belum tentu akan lebih baik daripada zaman penjajahan. Padahal di zaman dulu, pemerintahan kolonial banyak membangun infrastruktur, kebun, ataupun industri yang menyerap tenaga kerja. Namun, kaum intelektual pribumi yang sebetulnya memiliki kesempatan emas berkarir di kantor pemerintah maupun di industri, memilih meninggalkan zona nyamannya untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Secara naluriah manusia selain menginginkan kesejahteraan juga menginginkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, ia tak suka dikekang. Dominasi asing akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain yang menyebabkan masyarakat tersebut kesulitan menentukan masa depannya.  Bayangkan, bagaimana mungkin cita-cita nasional untuk menjaga keamanan dan ketertiban dunia bisa dijalankan jika dalam hal ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada para kapitalis asing.

Kelima, aspek sosial. Sejarah membuktikan bahwa dominasi modal asing, terutama dalam industri ekstraktif semisal minyak dan tambang, kerapkali menimbulkan gejolak sosial masyarakat dengan korporat. Konflik bertahun-tahun antara masyarakat Papua dengan Freeport, konflik masyarakat dengan INCO di Sulawesi Tenggara, konflik mesuji, ataupun konflik lahan emas di Bima merupakan sedikit contoh gejolak sosial yang terjadi karena dominasi korporat asing. Demikian pula dengan konflik-konflik yang ada di Bougainville, Angola, Sudan, ataupun Kongo.


Melepas Cengkraman Asing
Tentu mayoritas rakyat Indonesia tak ingin terjajah terus menerus. Cukuplah sejarah nusantara mencatat bahwa sejarah kita didominasi oleh kisah-kisah feodalisme, perbudakan, ataupun penjajahan oleh asing. Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintah selaku pemangku amanat rakyat Indonesia agar keluar dari dominasi asing.

Pertama, menyusun rencana strategis pembangunan ekonomi yang berpihak pada kepentingan nasional. Pembangunan ekonomi selama ini cenderung bersikap pragmatis dan reaktif. Selama ini investasi yang masuk semata-mata mengandalkan keunggulan dari segi pasokan bahan baku dan tenaga kerja yang murah. Selain itu, investasi juga ditujukan sekadar untuk menggenjot PDB dan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya rencana strategis tersebut, investasi ataupun perjanjian ekonomi yang dibuat dapat benar-benar menjadi modal pembangunan nasional jangka panjang yang menguntungkan rakyat, bukan demi pencitraan statistik ekonomi semu belaka.

Kedua, renegoisasi perjanjian yang merugikan negara. Dengan adanya renegoisasi, penerimaan negara atas kontrak pengelolaan sda dengan korporat asing dapat meningkat. Meningkatnya penerimaan dapat digunakan sebagai modal pembangunan nasional.

Ketiga, kewajiban divestasi. Perusahaan asing yang telah mengelola sumber daya alam yang strategis diwajibkan untuk menjual sahamnya kepada negara dalam jangka waktu tertentu. Langkah nasionalisasi dengan demikian dapat berjalan dengan relatif  “mulus”.

Keempat, negara memberikan prioritas pengelolaan sumber daya kepada BUMN, kemudian pemodal domestik sehingga surplus ekonomi yang mengalir keluar negeri mampu diminimalisasi. Tentu hal ini harus disertai komitmen untuk meningkatkan kinerja BUMN atau swasta domestik.

Kelima, memperkuat industri domestik. Untuk memperkuat industri domestik lagkah yang perlu ditempuh ialah peningkatan kualitas sumber daya manusia, standardisasi mutu nasional, pembangunan infrastruktur, efisiensi birokrasi, serta insentif terhadap industri domestik. Dengan langkah-langkah ini diharapkan industri nasional semakin maju dan kompetitif dengan industri negara-negara lain, serta mampu memenangkan pasar domestik.

"Kita tuangken satu masyarakat tanpa explotation de I'homme par I'homme, satu masyarakat yang tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia, satu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis oleh karena tidak bisa memberi susu kepada anaknya, satu masyarakat yang tiap-tiap orang menjadi cerdas, satu masyarakat yang benar-benar membuat bangsa Indonesia ini satu bangsa yang terdiri dari pada ratusan juta Insan Al-Kamil yang hidup dengan bahagia di bawah kolong langit buatan Allah Subhanahu Wata ‘ala." (Soekarno) diambil dari karya : Fajar Cipta Yudha Perkasa



share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Athok MN Rozaqy, Published at 07.21 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar